Kemerdekaan Yang Tidak Dirasakan Indonesia Bagian Timur
Setelah sekian lama ga pernah nengokin blog dan kali ini aku kembali untuk menulis. Dengan berbagai fakta yang membuat hati saya teriris tentang keadaan Indonesia bagian Timur saat ini.
Tulisan ini di buat di sela-sela kebingungan saya untuk menemukan kalimat yang tepat dari tiap-tiap paragraph skripsi yang harus saya selesaikan esok.
Jakarta, Ibu kota
dengan pembangunan yang pesat. Ntah saya tak mengerti arti kata “Pembangunan
yang pesat” dan yang katanya diimbangi dengan teknologi yang mutakhir.
Indonesia, Negara yang merdeka 75 tahun yang lalu. Kemerdekaan seolah tak dirasakan bagi masyarakat di bagian Timur
Indonesia, Pulau Praisalura atau yang sering di sebut “Salura”. Pulau dengan
potensi alam yang sangat tinggi. Hasil laut yang melimpah, apakah mereka kaya?
Harusnya IYA.
Namun kenyataannya, masyarakat Salura pada kesehariaanya hanya
bergantung kepada masyarakat Lombok. Masyarakat daerah Lombok yang
berduyun-duyun datang ke Salura memanfaatkan hasil laut di Pulau Salura.
Sebagian besar masyarakat Lombok yang merantau ke Saluran menjadi nelayan cumi-cumi,
sedangkan masyarakat asli Salura hanya menjadi buruh jemur cumi-cumi. Ya,
mereka mengeringkan cumi-cumi yang di bawa oleh nelayan Lombok. Dari hasil
buruh cumi perharinya, mereka hanya di bayar 25 ribu rupiah. Apa itu cukup
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka? Tentu tidak. Potensi kekayaan laut yang
tinggi belum di imbangkan dengan kemampuan masyarakat Salura untuk mengolahnya
serta fasilitas untuk menangkap ikan/hasil laut lain yang belum tersedia.
“Tingkat keeanekaragaman Indonesia yang tinggi” Kalimat ini bukan hanya sekedar
kalimat sederhana yang kalian baca di
berbagai literatur atau buku ilmiah lainnya. Tapi memang benar adanya, namun
bagaimana kami mau memanfaatkan keanekaragam tersebut, tanpa tahu bagaimana
cara mengolahnya? Bukankah hal ini sama seperti daerah yang terjajah? Tak hanya
daerah Salura.
Seperti yang kita tahu
air merupakah sumber kehidupan. Di Jakarta dan
sekitarnya air dapat kita akses setiap hari secara gratis. Bahkan
rumah-rumah yang memiliki mesin pompa air, lebih leluasa untuk menggunakan air
tanah. Namun apa jadinya jika air tidak tersedia di daerah kalian? Apakah
kalian terbayangkan jika setiap harinya harus membeli air ke daerah lain untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari? Pulau Palue masih dalam wilayah Indonesia
Timur, Peristiwa yang saya ceritakan tadi di rasakan oleh masyarakat Pulau
Palue. Pada setiap harinya masyarakat Pulau Palue menggelontorkan uang yang
cukup banyak untuk membeli air. Bukan seratus atau dua ratus ribu rupiah,
melainkan satu juta rupiah yang mereka keluarkan untuk membeli air setiap
bulannya. Dan itu hanya bagi warga yang mampu, bagaiman jika tidak punya? Masyarakat
Pulau Palue yang tidak mampu membeli air hanya memanfaatkan teknologi uap air
yang pernah dibuat pemerintah. Dari satu derigen penuh di butuhkan waktu 12-16
jam untuk menunggu air itu terisi penuh. Selain itu, terkadang mereka
memanfatakan batang pisang yang di lubangkan dan selanjutnya air yang keluar
pada batang pisang tersebut di tampung dengan bambu. Bukankah semua ini membuat
hati kalian teriris?
Indonesia ku, Membaiklah bumi pertiwi. Wahai pejabat yang agung
dimanakah kalian hingga pembangunan di Ibukota tak kami rasakan di sini. Wahai
anak bangsa penerus generasi berikutnya, berbagilah ilmu ajarkan kami bagaimana
kami mengolah dan memanfaatkan potensi alam tanah kelahiran kami ini.
Semoga aku diberikan
kesempatan kesehatan agar dapat berbakti padamu
Bumi pertiwiku.
Komentar
Posting Komentar